Assalamu'alaykum teman-teman. Alhamdulillah insya Allah ini tahun pertama kita bisa silaturahmi tanpa "ngumpet-ngumpet" dari aturan ya. Hari Raya Idul Fitri kali ini kita bisa bertemu sanak saudara, orang tua, teman-teman yang mungkin selama pandemi kemarin hanya bisa bertemu lewat jejaring sosial maupun video call. Ditambah lagi, aturan bepergian juga dipermudah yaitu bisa bebas antigen dan PCR jika sudah booster vaksin ketiga. Yuk langsung ke faskes terdekat untuk booster, lumayan banget cuma beli tiket pesawat atau kereta apinya aja kan. Seperti masa-masa libur lebaran sebelum pandemi, biasanya teman-teman yang punya ART di rumah akan ada cuti khusus untuk ART-nya (yang semoga ngga ditambah drama ngga mau balik kerja). Kebayang ya bersih-bersih rumah, kalau baju masih bisa laundry self service yang sehari bisa langsung kering dan menghemat waktu. Kalau ART? ada sih ART musiman ya, tapi apakah bisa dipercaya? Daripada jadi overthinking yu...
Seandainya ada orang yang dilahirkan di surga
dan dibesarkan dalam buaiannya hingga dewasa, lalu dikeluarkan ke dunia sebagai
hiasan dan cahayanya, Ammar beserta ibunya Summayah, dan Ayahnya Yasir adalah
beberapa orang di antara mereka. Namun, mengapa kita mengatakan “seandainya”
dan mengumpakan seperti itu, padahal keluarga Yasir benar-benar penghuni surga?
Ketika,
itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “bersabarlah, wahai
keluarga Yasir, tempat yang telah dijanjikan bagi kalian adalah surga!” Sabda
beliau tersebut bukan hanya sebagai hiburan belaka, melainkan pengakuan atas kenyataan
yang bisa dilihat dengan menguatkan fakta. Ayahanda Ammar, Yasir bin Amir
mengikat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah di
Mekkah. Rupanya ia merasa kerasan dan cocok tinggal di Mekkah hingga akhirnya
bermukim di sana. Abu Hudzaifah mengawinkannya dengan salah seorang budaknya
yang bernama Sumayyah binti Khayyath, dan dari perkawinannya yang penuh berkah
ini, kedua suami istri it dikaruniai seorang putra bernama Ammar.
Mereka
masuk Islam lebih awal dan masuk dalam barisan orang-orang berbakti yang diberi
petunjuk oleh Allah. Sebagai keniscayaan bagi orang-orang yang berbakti
golongan awal masuk Islam, mereka pun harus menderita karena siksa dan
kekejaman Quraisy. Keluarga Yasir termasuk ke dalam golongan kedua, yaitu
penduduk Mekkah yang rendah martabatnya dan miskin atau berasal dari golongan
budak, sehingga orang-orang Quraisy mencambuk dan menyundut yang bersangkutan
dengan api. Penyiksaan kepada mereka diserahkan pada Bani Makhzum. Setiap hari
Yasir, Summayah, dan Ammar dibawa ke padang pasir Mekkah yang sangat panas,
lalu disiksa dengan berbagai bentuk kekejaman. Penderitaan yang dialami oleh
Summayah sangat memilukan. Summayah yang gugur syahid itu telah menunjukkan
sikap dan pendirian yang tangguh.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
lupa mengunjungi tempat-tempat yang diketahuinya sebagai ladang penyiksaan bagi
keluarga Yasir. Ketika itu tidak suatu pun yang dimilikinya untuk menolak
bahaya dan mempertahankan diri. Hal itu memang telah menjadi kehendak Allah.
Suatu hari, ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengunjungi mereka, Ammar memanggilnya, “Wahai
Rasulullah, siksa yang kami derita telah mencapai puncaknya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
bersabda, “Bersabarlah, wahai Abu
Al-Yaqzhan. Bersabarlah, wahai keluarga Yasir. Tempat yang dijanjikan bagi
kalian adalah surga.”
Siksaan
yang dialami oleh Ammar dilukiskan oleh para sahabat dalam beberapa riwayat.
Amr bin Al-Hakam menuturkan, “Ammar disiksa hingga hingga tidak menyadari apa
yang diucapkannya.” Sementara Amr bin Maimun mengatakan, “Orang-orang musyrik
membakar Ammar bin Yasir dengan api. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat di tempatnya lalu memegang
kepalanya dengan tangan beliau, sambil bersabda,’Wahai api, mendinginlah dan menjadi keselamatan bagi Ammar, sebagaimana
dulu kamu mendinginlah dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim’.”
Sebesar
itu siksaan yang dialami, Ammar tetap tidak berubah, ia tetap teguh meski
derita telah menekan punggung dan menguras tenaganya. Puncak siksaan yang
membuatnya benar-benar seperti binasa adalah ketika suatu hari tukang-tukang
cambuk dan para algojo menghabiskan segala daya upaya dalam melampiaskan
kezhaliman dan kekejiannya. Mereka membakarnya dengan besi panas, menyalibnya
di atas pasir panas dengan ditindih batu laksana bara merah, bahkan mereka
menenggelamkan ke dalam air hingga sulit bernapas dan kulitnya yang penuh luka
mengelupas.
Pada
hari tersebut, Ammar telah tidak sadarkan diri lagi karena siksaan yang
demikian berat dan saat itulah orang-orang Quraisy mengatakan kepadanya, “Pujalah
olehmu Tuhan-tuhan kami!” Kemudian, mereka pun menuntunnya untuknya kata-kata itu,
sementara ia mengikutinya tanpa menyadari apa yang diucapkannya. Ketika ia tersadar sebentar akibat dihentikannya siksaan, tiba-tiba ia
sadar dengan apa yang ia telah ucapkan. Hatinya gundah dan terbayang dii ruang
matanya betapa besar kesalahan yang telah dilakukannya, yang tidak dapat
ditebus, dan diampuni lagi. Saat itu ia dihantui perasaan bersalah yang sangat
menyiksa melebihi siksaan yang ia terima dari orang-orang musyrik sebelumnya.
Tangan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjabat tangan Ammar, dan mengucapkan selamat
kepadanya, “Bangunlah, wahai pahlawan, tidak ada penyesalan atasmu dan tidak
ada cacat.” Dalam kekhawatiran Ammar terhadap hal yang ia lakukan tanpa ia
sadari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Jika mereka
memaksamu lagi, tidak mengapa engkau mengucapkan seperti apa yang engkau
katakan tadi.” Setelah itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membacakan
kepadanya ayat yang mulia:
Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa), (Terjemahan
QS. An-Nahl: 106)
Setelah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, kaum muslimin tinggal bersama beliau di sana dan tidak
lama kemudian masyarakat Islam terbentuk dan barisan mereka menjadi sempurna. Di
tengah masyarakat Islam ini, Ammar mendapatkan kedudukan yang tinggi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ikutilah Abu Bakar dan
Umar setelah kematianku nanti, dan ambillah petunjuk Ammar sebagai pelajaran.”
Ammar telah berjuang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan gurunya dalam semua perjuangan bersenjata, baik Badar,
Uhud, Khandaq, Tabuk, maupun pertempuran lainnya.
Ketika
Amirul Mukminin Umar memilih calon pemimpin kaum
muslimin di beberapa negeri secara cermat dan hati-hati, mata Umar tertuju dan
tidak ingin beralih dari Ammar bin Yasir. Ia segera menemui dan mengangkatnya
sebagai wali negeri Kufah dengan Mas’ud sebagai pengelola Baitul Mal. Salah
seorang yang hidup semasa dengannya di Kufah, Ibnu Abil Hudzail menuturkan, “Saya
melihat Ammar bin Yasir, kala menjadi gubernur di Kufah, membeli sayuran di
pasar, lalu mengikatnya dengan tali dan memikulnya di atas punggung, kemudian
membawanya pulang.”
Suatu
hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda di hadapan semua sahabat, “Aduhai
Ibnu Sumayyah, engkau akan dibunuh oelh golongan yang melampaui batas.”
Hari demi hari terus berganti, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kembali ke Tempat Tertinggi, disusul oleh Abu Bakar,
lalu Umar pergi mengiringi menghadap keridhaan ilahi. Setelah itu, kekhalifahan
dipegang oleh Dzun Nurain, Utsman bin Affan. Sementara itu, musuh-musuh Islam
yang bergerak di bawah tanah berusaha menebus kekalahannya di medan tempur
dengan jalan menyebarluaskan fitnah.
Kondisi
ketika Mu’awiyah bangkit untuk mendapatkan jabatan khilafah dari tangan
Khalifah Ali yang baru diangkat dan dibaiat membuat pendirian sahabat pun
bermacam-macam. Di antara mereka ada yang berpihak kepada Mu’awiyah. Ada pula
yang yang mendampingi Ali, membaiat dan menganggap sah pengangkatannya sebagai
khalifah kaum muslimin. Dalam kondisi tersebut, Ammar berdiri membela Ali bin
Abu Thalib, bukan karena fanatik atau berpihak kepadanya, melainkan karena
tunduk kepada kebenaran dan teguh memegang janji. Ali memiliki keutamaan yang
menjadikan kedudukannya di sisi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ubahnya bagai kedudukan Harun di sisi Musa. Dengan
cahaya pandangan hati nurani dan ketulusannya, Ammar selalu mebgikuti kebenaran
ke mana juga perginya.
Akhirnya,
Perang Shiffin yang mengerikan itu pun meletus. Ali menghadapi pekerjaan
penting ini sebagai tugas memadamkan pembangkangan dan pemberontakan. Ammar
yang kala itu berusia 93 tahun merasa memiliki tugas dan kewajiban dalam perang
tersebut. Ia melakukannya lebih semangat dan dahsyat dari yang dilakukan oleh
orang-orang muda berusia 30 tahun. Tokoh yang pendiam dan jarang berbicara ini
hampir saja tidak menggerakkan kedua bibirnya, kecuali mengucapkan permohonan
perlindungan, “Aku berlindung kepada Allah dari fitnah. Aku berlindung kepada
Allah dari fitnah.” Tatkala bahaya itu tiba dan fitnah merajalela, Ibnu
Summayah telah mengerti di mana ia harus berdiri. Pada hari Perang Shiffin,
meski telah kita sebutkan usianya telah mencapai 93 tahun, ia bangkit menghunus
pedangnya, demi membela kebenaran yang menurut keimanannya harus dipertahankan.
Ammar
menerjang dan menyusup ke medan juang. Ia yakin akan menjadi salah seorang
syuhadanya. Ramalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terpampang di depan matanya dengan huruf-huruf yang
besar, “Ammar akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas.” Karena itu,
suaranya bergema di seluruh medan perang dengan senandung ini, “Hari ini aku
akan berjumpa dengan para kekasih tercinta. Muhammad dan para sahabatnya.”
Sebelum wafat, ia hendak menanamkan pendidikan terakhir tentang keteguhan hati
membela kebenaran, dan mewariskan contoh perjuangannya yang besar dan mulia,
yang menimbulkan kesan mendalam. Berita tewasnya Ammar segera tersebar dan
ramalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didengar oleh semua sahabatnya ketika mereka sedang
membangun masjid di Madinah dulu, pada masa yang telah jauh sebelumnya,
berpindah dari mulut ke mulut. Dengan demikian, sekarang orang-orang tahu siapa
kiranya golongan yang melampaui batas itu, yaitu golongann yang membunuh Ammar,
yang tidak lain dari pihak Mu’awiyah.
Dengan
kematian Ammar, keimanan para pengikut Ali semakin bertambah. Sementara di
pihak Mu’awiyah muncul keraguan di hati mereka. Adapun Ammar, ia dipangku Ali ke
tempat ia menshalatkannya bersama kaum muslimin, lalu dimakamkan dengan
pakaiannnya yang dilumuri darahnya yang bersih suci, sebab tidak satu pun kain
sutera atau beludru dunia yang layak untuk menjadi kain kafan bagi seorang
syahid mulia, seorang suci dan utama setingkat Ammar. Kaum muslimin pun berdiri
di kuburnya dengan penuh ketakjuban. Beberapa saat yang lalu, Ammar berdendang
di depan mereka di medan perang, hatinya penuh kegembiraan. Seruannya saat itu,
“Hari ini aku akan berjumpa dengan para kekasih tercinta; Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya.”
Kini
telah tiba waktu bagi Ammar untuk mengabulkan panggilan kerinduan yang
memanggil dari haribaan surga, karena tidak ada balasan kebaikan kecuali
kebaikan pula. Ketika tanah pusaranya didatarkanoleh para sahabat di atas jasadnya,
ruhnya yang mulia telah bersemayam di tempat bahagia, jauh di sana di dalam
surga yang kekal abadi, yang telah lama rindu menanti.
Sumber: Biografi 60 Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam - Khalid Muhammad Khalid
Komentar