Assalamu'alaykum teman-teman. Alhamdulillah insya Allah ini tahun pertama kita bisa silaturahmi tanpa "ngumpet-ngumpet" dari aturan ya. Hari Raya Idul Fitri kali ini kita bisa bertemu sanak saudara, orang tua, teman-teman yang mungkin selama pandemi kemarin hanya bisa bertemu lewat jejaring sosial maupun video call. Ditambah lagi, aturan bepergian juga dipermudah yaitu bisa bebas antigen dan PCR jika sudah booster vaksin ketiga. Yuk langsung ke faskes terdekat untuk booster, lumayan banget cuma beli tiket pesawat atau kereta apinya aja kan. Seperti masa-masa libur lebaran sebelum pandemi, biasanya teman-teman yang punya ART di rumah akan ada cuti khusus untuk ART-nya (yang semoga ngga ditambah drama ngga mau balik kerja). Kebayang ya bersih-bersih rumah, kalau baju masih bisa laundry self service yang sehari bisa langsung kering dan menghemat waktu. Kalau ART? ada sih ART musiman ya, tapi apakah bisa dipercaya? Daripada jadi overthinking yu...
Manusia dalam hidupnya tak mungkin berdiam diri pada tiap harinya. Selalu ada perbuatan baik ataupun buruk yang dilakukan. Beberapa orang menyangsikan kalau perilaku yang baik menurut Allah belum tentu baik pula di mata manusia. Ada yang memilih untuk mementingkan manusia, padahal kepada Allah-lah tempat kembali semua manusia.
Setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tentu berharap dapat bermanfaat bagi orang lain. Terkadang hal besar yang telah dilakukan tertutup oleh kesalahan kecil. Ibarat pepatah gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. Manusia yang berorientasi pada kebahagiaan manusia lainnya pastilah menjadi makhluk yang menyedihkan karena sesungguhnya manusia tidak mungkin membahagiakan semua orang.
Kesedihan memuncak tatkala pengorbanan yang telah dilakukan ternyata tak dianggap oleh orang lain bahkan selalu kekurangan dan kesalahan yang diungkit-ungkit. Ibarat pepatah “panas setahun dihapus hujan sehari”. Hal tersebut tentu akan membuat manusia menjadi kecewa dan bersedih, Padahal, keberharapan pada manusia memang hanya berujung pada kecewa, maka berharaplah hanya pada Allah.
Kita kecewa dengan hal baik yang telah kita lakukan dengan susah payah, tetapi tidak dianggap baik oleh orang lain. Lantas apa rasanya bila kebaikan yang kita atas namakan ibadah kepada Allah tak dianggap oleh-Nya? Dunia ini lenyap tatkala sangkakala ditiup, tetapi amalan manusia tetap kekal hingga hari perhitungan tiba. Tidak akan ada amalan dan dosa yang luput dari perhitungan-Nya.
dari laman muslim.or.id. :
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Tentang maksud “bagaikan debu yang beterbangan” Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan, “Artinya sia-sia, tidak mendapat pahala. Karena mereka tidak melakukannya [ikhlas] karena Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 924)
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaa’dul Masir, hal. 1014)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran syari’at yang diridhai [Allah] maka itu adalah batil/sia-sia.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/103])
* * *
jika kecewa memenuhi diri yang telah bersusah payah berusaha
Apakah sungguh ikhlas berada di sana?
Komentar