Assalamu'alaykum teman-teman. Alhamdulillah insya Allah ini tahun pertama kita bisa silaturahmi tanpa "ngumpet-ngumpet" dari aturan ya. Hari Raya Idul Fitri kali ini kita bisa bertemu sanak saudara, orang tua, teman-teman yang mungkin selama pandemi kemarin hanya bisa bertemu lewat jejaring sosial maupun video call. Ditambah lagi, aturan bepergian juga dipermudah yaitu bisa bebas antigen dan PCR jika sudah booster vaksin ketiga. Yuk langsung ke faskes terdekat untuk booster, lumayan banget cuma beli tiket pesawat atau kereta apinya aja kan. Seperti masa-masa libur lebaran sebelum pandemi, biasanya teman-teman yang punya ART di rumah akan ada cuti khusus untuk ART-nya (yang semoga ngga ditambah drama ngga mau balik kerja). Kebayang ya bersih-bersih rumah, kalau baju masih bisa laundry self service yang sehari bisa langsung kering dan menghemat waktu. Kalau ART? ada sih ART musiman ya, tapi apakah bisa dipercaya? Daripada jadi overthinking yu...
Bismillahirrahmanirrahim
Setiap manusia memiliki
kriteria ideal dalam memilih pendamping hidup. Namun, "ideal"
ternyata memiliki sudut pandang tersendiri, tergantung masing-masing individu. Ada kutipan yang saya ingat, kurang lebih isinya
seperti ini,"Jika kau mencari yang ideal, niscaya takkan kau temui."
Saya sepakat! Mengapa? karena setiap orang mempunyai keterbatasan dan
kelebihan. Segala yang berlebih juga tidak baik. Apa yang sebenarnya kita
harapkan dari seseorang yang akan mendampingi kita dalam kehidupan ini?
Kesempurnaan? Jika jawabannya iya, maka sungguh keterbatasan itu hanya tak sempat
kita perhatikan dari dirinya.
Suatu malam saya membaca
sebuah artikel di media sosial yang isinya tentang pendamping hidup yang baik
agamanya. Menurut sang penulis, "baik agamanya" kini disempitkan maknanya, ia
memiliki pandangan bahwa "baik agamanya" bukan saja yang hafal dalil,
mampu mengaji, dan belajar dari kajian atau semacamnya. Menurutnya, "baik
agamanya" adalah orang yang dapat bermanfaat oleh orang lain, lingkungan,
dan lingkup yang lebih luas lagi.
Melalui artikel itu,
qadarullah saya menjadi semangat untuk menyikapi artikel tersebut ala saya. Kita harus melihat
frasa "baik agamanya" muncul dari perintah mana, Alquran atau hadis? Jika terdapat dalam Alquran, kita butuh tafsir yang shahih untuk
memaknainya, bukan menurut pendapat diri sendiri. Jika dari hadis, maka
kita harus melihat ke-shahih-an hadis tersebut dan memastikan hadis tersebut
bukan hadis dho'if (lemah). Alhamdulillah, pernyataan "baik agamanya"
tersebut saya dapatkan dari sebuah hadis. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda, “Jika datang kepada kalian lelaki yang baik agamanya (untuk
melamar), maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, niscaya akan
terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi” [HR. Tirmidzi, Ibnu
Majah]. Status hadis tersebut shahih.
Sekarang, "baik
agamanya" kita tafsir seperti apa? Ucapan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam adalah firman Allah, Rasulullah berkata juga tanpa nafsu. Setiap
sabda Rasulullah saya yakini kebenarannya bahkan menjadi salah satu syarat diterimanya
ibadah selain niat yang pertama, kedua adalah adanya contoh dari Rasulullah.
Selain baik agamanya, juga ada kriteria lain yang dapat menjadi pertimbangan
diterima atau tidaknya lamaran seorang lelaki yang saya rasa sudah banyak
dibahas di beberapa artikel di laman keagamaan secara tuntas.
Memang benar bahwa yang
baik agamanya bukan hanya ustadz, ustadzah, makhluk Allah yang qadarullah
diperkenankan oleh-Nya mendapat kelebihan dalam menghafal Alquran dan hadis.
Sebaik-baiknya manusia pun adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Allah
memandang manusia bukan dari pekerjaan, fisik, apalagi harta, tetapi yang
membuat manusia berbeda ketika menghadap Allah adalah keimanannya. Oleh sebab
itu, belum tentu direktur utama perusahaan internasioanl lebih baik agamanya
dibanding dengan pekerja pabrik yang shalih, khusyu salatnya, rajin menghisab
dosanya, dan memohon ampun pada Allah. Namun, belum tentu juga seorang karyawan
lebih baik agamanya dibanding dengan seorang general manager yang
menjaga dirinya dari yang haram, taat pada Allah dan Rasulullah serta mencintai
orang tuanya. Jabatan dan pekerjaan tidak dapat menjadi tolak ukur seseorang
baik agamanya atau tidak. Lagi-lagi, penilaian manusia seringnya meleset.
Kriteria lelaki yang baik agamanya yang
dimaksud oleh Alquran dan hadis kurang lebih seperti ini:
1.
Senantiasa taat kepada Allah swt dan Rasullulah Shallallahu’alaihi Wasallam.
2.
Jihad
Fisabilillah adalah maklumat dan program hidupnya.
3.
Mati syahid
adalah cita cita hidup yang tertinggi.
4.
Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah Subhannahu Wa Ta'ala
5.
Ikhlas dalam beramal.
6.
Kampung akhirat menjadi tujuan utama hidupnya.
7. Sangat takut kepada ujian
Allah Subhannahu Wa Ta'ala dan ancamannya.
8.
Selalu memohon ampun atas segala dosa-dosanya.
9. Zuhud dengan dunia tetapi
tidak meninggalkannya.
10.
Salat malam menjadi kebiasaannya.
11.
Tawakal penuh kepada Allah ta’ala dan tidak mengeluh
kecuali kepada Allah Subhannahu Wa Ta'ala
12.
Selalu berinfaq dalam keadaan lapang maupun sempit.
13.
Menerapkan nilai kasih sayang sesama mukmin dan
ukhwah di antara mereka.
14.
Sangat kuat amar makruf dan nahi munkarnya.
15.
Sangat kuat memegang amanah, janji, dan rahasia.
16. Pemaaf dan lapang dada
dalam menghadapi kebodohan manusia, senantiasa saling koreksi sesama ikhwan dan
tawadhu penuh kepada Allah Subhannahu Wa Ta'ala
17. Kasih sayang dan penuh pengertian kepada
keluarga.
Selain itu, saya coba
merangkum nasihat Rasulullah tentang kriteria khusus dalam memilih calon suami.
Rangkuman ini saya ambil dari laman muslim.or.id. Kriteria tersebut antara
lain:
1. Memiliki kemampuan untuk memberi
nafkah.
“Cukuplah seseorang itu berdosa bila
ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih).
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan menganjurkan menimbang faktor
kemampuan memberi nafkah dalam memilih suami., seperti kisah pelamaran Fathimah
binti Qais radhiyallahu ‘anha. Namun, kebutuhan akan nafkah ini jangan
sampai dijadikan kriteria dan tujuan utama karena sesunggunya atas izin
Allah-lah seorang suami dapat memberikan nafkah pada istrinya.
2. Tidak harus kaya.
“Celakalah hamba dinar, celakalah
hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah. Jika
diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.” (HR. Bukhari).
Selain itu, bukan juga berarti calon suami
harus kaya raya karena Allah pun menjanjikan kepada para lelaki yang miskin
yang ingin menjaga kehormatannya dengan menikah untuk diberi rizki.
“Dan nikahkanlah orang-orang yang
masih membujang di antara kalian. Jika mereka miskin, Allah akan memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur: 32)
Menurut saya, lelaki yang
baik agamanya insya Allah mengusahakan diri untuk bermanfaat bagi orang lain
dan lingkungannya. Hal ini didasari oleh ilmu yang telah ia miliki dan
kewajiban dalam mengamalkannya, sedangkan lelaki yang bermanfaat bagi orang
lain belum tentu baik agamanya. Kalem kalem. Ini pendapat saya. Mengapa bisa
demikian? Karena banyak orang yang hidup dan bermanfaat bagi orang lain, tetapi
hakikatnya ia tak mengerti bahwa tujuan manusia diciptakan untuk beribadah pada
Allah, menghambakan diri pada Sang Pencipta. Lelaki yang baik agamanya, insya
Allah "aman" dipekerjakan di mana saja karena seharusnya ia mengerti
halal, syubhat, dan haram. Ia takkan memberi keluarganya bara api neraka dari
uang haram yang mudah beredar di sekelilingnya. Ia juga tidak akan memilih
tempat bekerja yang keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya. Lelaki yang
baik agamanya insya Allah mampu menjaga dirinya di manapun ia berada karena ia
mengetahui landasan pernikahannya adalah Allah. Allah memantau apapun yang kita
kerjakan, maka kita akan memberikan kinerja terbaik untuk-Nya.
Itulah beberapa pandangan
saya tentang lelaki yang baik agamanya dan "keuntungan" apa saja yang
akan didapat seorang istri jika memiliki suami yang baik agamanya. Semoga dapat
menjadi pertimbangan. Sekali lagi, lelaki yang baik agamanya itu dapat "menjelma"
dengan status pekerjaan apapun (pekerjaan yang halal tentu saja). Jadi, jangan
mudah terpukau dengan jabatan tinggi dan kemapaman atau dengan kalimat
"salatnya rajin kok, ke masjid juga" karena lelaki yang baik agamanya
tidak hanya melaksanakan salat, tetapi juga amalan wajib dan sunnah lainnya.
Masih adakan beberapa lelaki yang salatnya rajin, tetapi pacarannya tetap
lancar? bagaimana yang seperti itu? Sesungguhnya, salatnya kelak akan mencegah dia dari berbuat yang keji
dan mungkar jika dalam salatnya ia memerhatikan rukun sah salat. Semoga Allah selalu melindungi kita dari segala keburukan yang
kita sadari maupun tidak kita sadari. aamiin. Mohon maaf jika terdapat
kesalahan dan ketidaksepahaman terkait artikel ini. Wallahu ‘alam bishowab
Komentar