Kami menantimu sejak ijab qabul itu terlaksana
Kami menjagamu atas izin Allah sejak hari ke-30 kami bersama
Kami mencintaimu sejak kini hingga entah di usia ke berapa kami menutup mata
Semoga Allah senantiasa menjaga kita hingga kembali bertemu di surga-Nya
Kelahiran itu tampak semakin dekat ketika tanda lahir pertama hadir. Aku mulai merapikan beberapa baju bayi dan perlengkapannya serta bajuku ke dalam tas hadiah dari ibu. Aktivitas berjalan menjadi aku rutinkan supaya rasa mulas segera datang. Ibu yang mendengar berita tanda lahirku, bergegas ke Semarang walau sudah kucoba untuk menundanya. Sampai pada hari ketiga sekaligus jadwal periksa ke SpOG, rasa mulas yang ditunggu tak kunjung hadir.
Pasca pemeriksaan, dokter memberi usul untuk mempercepat proses kelahiran karena berat badan bayi yang sudah 3,2kg. Aku dan suami pasrah saja mengikuti. Racikan obat pun diberikan untuk menghadirkan kontraksi. Selepas periksa, ibuku juga pulang ke Jakarta karena ada urusan yang harus dilakukan. Kehadirannya tak sia-sia karena Beliau menjadi tahu apa yang akan terjadi pada anaknya. Hanya saja prediksi Beliau ternyata meleset total. Perkiraan kelahiran 10 juni atau 4 juni qadarullah meleset cukup jauh. Kontraksi itu hadir saat angin dini hari tak lagi menyapu keringatku yang hadir bersama detikan nyeri. Suami berusaha tenang bersama genggaman ponsel yang digunakan untuk mencatat waktu kontraksi selama perjalanan.
1:03.....1:17.....1.28.....1.35
Dini hari nyeri rasa seperti haid mulai berdatangan. Mungkin hanya ingin buang air kecil pikirku saat itu. Pasca dari toilet, aku mencoba untuk tetap terjaga menghitung tiap nyeri yang hadir. Jam di ponsel menunjukkan 1:03 kemudian rasa nyeri lainnya hadir pukul 1:17. Suami yang tak sengaja terbangun sambil minta maaf karena tangannya menyenggol pipiku bertanya mengapa aku belum tidur. Ia pun dapat menebak bahwa aku sedang kontraksi. Namun, kami memutuskan untuk menunda ke RS hingga pukul 2.00.
Jam di ponsel menunjukkan hampir pukul 2.00, tetapi kontraksi ini tak kunjung mereda. Semua barang disiapkan untuk dibawa ke RS, taksi pun sudah dipesan. Suami menyiapkan tas pribadinya untuk membawa uang tabungan persalinan yang sudah kami persiapkan sejak janin usia 2 bulan. Aku sibuk mondar-mandir untuk mengurangi nyeri karena pesan dokter, "Semakin nyeri, semakin banyak jalan." Namun, aku menyerah untuk terus jalan ketika nyeri datang pukul 1:54. Kontraksi itu membuatku tak bisa berjalan, bahkan saat taksi datang aku meminta suami untuk menunggu sebentar hingga kontraksinya mereda. Pendingin di dalam taksi ramah menyapaku yang berkeringat. Aku merasakan sejuk hadir di dahi. Aku masih bisa berbicara pada suami dengan normal saat tak ada kontraksi.
Taburan bintang di langit malam itu seolah menjadi penghibur dari setiap nyeri di tiap detikkan kontraksi. Suamiku yang berada di samping memegang ponsel dan berkali-kali mengetikkan menit ketika aku mengisyaratkan kontraksi. Tiap menit yang tercatat dan kukabarkan pada suami ternyata hanya menambah nyeri itu begitu terasa. Menit kontraksi pun semakin sedikit jeda waktunya di sepanjang perjalanan. Aku lihat bagaimana ia mencatat menit-menit itu dengan wajah serius. Pada akhirnya aku hanya mampu mengenggam erat telapak tangannya sebagai tanda kontraksi itu sedang menghampiriku. Alhamdulillah tidak ada macet. Namun, di tengah perjalanan suamiku baru teringat tas pribadinya tertinggal di rumah. Kami tetap tenang karena masih ada cukup cadangan di kartu ATM. Sejak turun dari taksi, aku mulai mengatur gerakan. Tak boleh ada gerakan saat kontraksi karena aku tak yakin bisa menahan diri untuk tidak mengejan.
Pintu IGD terbuka, ruang kosong hanya diisi olehku yang didorong oleh satpam jaga menuju tempat tidur untuk diperiksa. Insiden lain yang tak dikira, suami kehilangan kartu ATM sejak sehari yang lalu. Entah bagaimana ia mengatur tahapan penyelesaian 3 ujian sekaligus: kartu ATM hilang, uang tabungan tertinggal di rumah, dan istri terkulai lemas pucat di IGD. Selama suami pergi mengurus administrasi, beberapa pemeriksaan dilakukan suster jaga. Mulai dari cek rekam jantung, tekanan darah, hingga dipasang jarum infus. Bagian pemasangan jarum infus ini saat ada suami. Ini pertama kalinya aku diinfus, suami menjadi sasaran cubitan kecil ketika jarum infus masuk di antara sela kulitku.
Aku menunggu sebentar di IGD kemudian laju kursi roda membawaku ke ruang pengawasan. Aku tak tahu pasti pukul berapa, tapi suara adzan subuh tak membuat suamiku pergi meninggalkan ruang pengawasan. Mungkin ia tahu bahwa kondisi istrinya tak menentu hingga akhirnya memutuskan untuk sholat di samping ranjangku. Beberapa kali ia menyeka darah yang mengalir di sela kakiku. Tak lama setelah adzan subuh, suster pun mungkin gerah mendengarku meminta izin untuk buang air kecil. Hanya sekali aku diperbolehkan BAK, itupun ditemani suami dan saat baru dipindah ke ruang pemeriksaan. Beberapa menit setelah adzan subuh, satu suster memeriksa proses pembukaanku yang ternyata sudah pembukaan 5. Aku meminta suami menelepon orang tua kami. Dari ketiga orang tua kami, hanya ibuku yang mengangkat telepon. Ibu memang biasa memasang dering ponsel agak kencang. Sementara itu, ibuk suami dan bapak tidak menjawab telepon kami, mungkin karena bertepatan dengan adzan subuh dan mereka biasanya ke mushola. Aku hanya dapat meringis dan mencoba tersenyum sebisanya ketika suami berkali-kali menanyakan rasa sakit ini. Ruang bersalin disiapkan dan tempat tidurku mulai didorong ke ruang bersalin. Suami yang menyaksikan setiap rintihan hingga pembukaan 5 seperti tidak tega hingga menyerah dan menawarkan opsi operasi cesar. Aku menolak. Biar aku lanjutkan hingga batasnya.
Sebelum kelahiran ini, aku tahu bahwa melahirkan seperti proses seseorang mengantar nyawanya pada gerbang kematian. Akhir setiap perjuangan hanya bisa ditemui jika kita sudah mencapai titik akhirnya. Semua atas kehendak Allah. Hidup atau mati in syaa Allah menjadi jalan terbaik. Entah mungkin benar cinta tumbuh karena terbiasa, aku merasakan suami semakin membutuhkan kehadiranku untuk menyiapkan segala keperluannya. Lantas bagaimana jika usai persalinan aku tak dapat lagi bersamanya? Beberapa pesan telah aku sampaikan di minggu-minggu akhir jelang persalinan, "Tolong jaga Kabay ya, mii. Kalau aku g bisa lanjut, carikan ibu yang shalihah untuk Kabay." Namun, dorongan suami untuk meyakinkan aku bisa menyelesaikan persalinan normal dalam keadaan sehat juga tak kalah kuat. Aku pun menguatkan diri untuk bisa berusaha sebaik mungkin dalam persalinan nanti.
Tiba di ruang bersalin, aku mulai dipersiapkan untuk melahirkan dan dibiarkan di ruangan tanpa suami. Hilir mudik suster di ruangan, tapi tak banyak menggubris kata-kataku yang sudah merintih ingin mengejan. Beberapa kali hanya diminta untuk tahan. Di sela berhentinya kontraksi, lelah itu mulai datang hingga aku bisa tertidur sekitar 2 menit tiap jedanya. Sampai akhirnya suaraku yang mulai bergetar hampir menangis, suster kembali memeriksa proses pembukaan yang sudah pembukaan 7 kemudian selang beberapa menit sudah pembukaan 9. Pada titik ini aku merasa nyaris seperti orang yang kehilangan akal saking menahan untuk tidak mengejan di setiap kontraksi yang hadir makin sedikit jedanya. "Ini ngga bisa dicepetin aja ya?" Ucapku dengan suara lemah pada suster. "Ngga bisa, Mba. Ini proses alaminya," balasnya. Aku sadar harus menampung tenaga untuk persalinan nanti. Aku pun diam hingga hanya mampu menggerakkan kaki sedikit pertanda kontraksi itu muncul lagi.
Menatapmu, Cinta yang tak pernah kami temui sebelumnya.
Aku kembali berbicara semampuku entah digubris atau tidak oleh suster yang berada di ruangan, "Suster ampuun." Seorang suster menghampiriku dan memeriksa proses pembukaan. Aba-aba untuk mengejan pun diberikan. Pesan beruntun di sampaikan oleh suster yang mendampingiku, "Tangan pegang betis, tarik napas, tahan sebentar, buang panjang. Kumpulkan tenaganya dulu baru ngejan. Mata jangan merem tapi lihat ke perut. Jangan teriak. Mengejannya saat mulasnya datang ya." Percobaan pertama belum berhasil. Namun, seorang suster mengatakan cara mengejannya sudah benar. Seorang suster lainnya memanggil suamiku yang berjaga di depan ruangan. Ia bergegas masuk dengan hati agak panik. Aku sudah mulai mengejan lebih sering ketika ia masuk, ia pun sudah melihat rambut si calon bayi. Di sampingku, ia menyemangati dengan suara lirih. Aku tak mampu menggenggam tangannya karena aku harus memegang betisku seperti perintah para perawat dan dokter kandunganku. Beberapa kali aku mengejan dan masih sedikit pergerakan bayi ternyata membuat rasa kontraksi lainnya hadir berturut-turut. Aku tak tahu yang terjadi pada si calon bayi, yang jelas pada suatu menit aku merasakan ada sesuatu yang keluar dari jalan lahir kemudian aku yang masih mengejan diminta rileks. Secara tiba-tiba aku merasakan seperti ada yang menarik bayi keluar. Seketika perutku terasa lega. Pecah tangis kami berdua. Tak percaya bahwa bayi yang selama ini ditunggu dapat lahir atas izin Allah dengan selamat. Suara suami yang bergetar memberitahukanku bahwa bayi kami sudah lahir dengan sehat. Ia pun diminta segera mengurus keterangan kelahiran bayi. Sementara aku memeluk bayi mungil dengan gugup bersamaan dengan proses penjahitan. Bersentuhan kulit dengan bayi yang dulu menginap di rahimku.
Aku dibiarkan sendiri di ruangan bersama bayi yang sudah berada di boksnya. Agak jauh dari tempat tidurku. Nyeri jahitan membuatku tak dapat banyak bergerak hingga akhirnya suami datang dan menyuapiku sarapan. Ia berulang kali melihat bayi kami. Perasaan kami sama ketika menatapnya, takjub. Kami bersyukur dapat menatapmu, Nak, cinta yang belum pernah kami temui sebelumnya. Aku dipindah ke ruang rawat inap pukul 8.00 dengan kantong infus hampir habis. Kami istirahat sejenak karena bayi masih diurus oleh perawat. Alhamdulillah, ibuk dan bapak bisa mengunjungi siang harinya.
Perawatan ekstra maksimal lagi-lagi harus dilakukan suami kepadaku. Pertama berbaring di tempat tidur, entah mengapa aku hanya ingin melihat wajahnya. Beberapa kali aku meminta suami untuk pindah tempat duduk supaya aku bisa melihatnya. Ujian selanjutnya bagi suami pun dimulai ketika rasa ingin ke toilet muncul. Awalnya aku hanya minta dipegangi hingga di depan kamar mandi, tetapi suami memilih untuk ikut menjagaku di dalam. Pertanyaan sama yang ia ucapkan berulang kali sejak pembukaan satu, "Sakit ya?" berulang ketika harus mengganti kain kasa di jalan lahir yang baru saja dijahit. Aku melihat tangannya gemetar ketika memasang kain kasa yang sudah diberi salep antiseptik. Mungkin ini pertama kalinya ia melihatku penuh darah. Mungkin ia cemas dengan yang ia lihat. Ketika akan keluar toilet, tiba-tiba mataku kehilangan fokus pandangan kemudian badan lemas total. Hampir pingsan. Aku mendengar suara suami yang panik meski begitu aku sulit melihatnya. Aku pasrah dituntun menuju tempat tidur dengan lemahnya. Kuping berdengung kencang, sekejap aku tak dapat mendengar suara. Hanya suara bising yang terputar di telinga. Mungkin itu efek dicabutnya infus beberapa menit lalu. Aktivitas selama sehari itu hanya makan, tidur, dan menyusui bayi. Aku menginap di RS selama 4 hari. Tubuh yang masih belum pulih mengisyaratkan sakit di bagian punggung ketika aku mengganti diapers bayi di malam hari. Keringat mengalir cukup banyak walau pendingin ruangan sudah cukup dingin. Serangan baby blues nampaknya mulai hadir.
Tangga itu Mulai Menanjak
Proses pascalahir si bayi ternyata fase yang cukup menjadi ujian bagi aku dan suami. Semoga Allah menguatkan kami, menjadikan kami orang tua yang shalih dan shalihah. Jazaakallahu khairan, suamiku. Mungkin ia mengira proses hamil dan melahirkan ini sungguh berat untukku. Namun, aku sadar betul betapa tanggung jawabnya kini menjadi lebih berat dari itu semua. Hidup bertiga di rumah membuat kami harus saling menguatkan satu sama lain. Kewajiban kami kian bertambah. Ibarat tangga kehidupan mulai menanjak. Mungkin lelah di sana-sini. Mungkin Shafiyyah, anak pertama kami itu tak tahu pola aktivitas kami berubah sejak ia hadir. Namun, aku yakin semua ini dicatat oleh malaikat, disaksikan oleh Allah ta'ala sehingga takkan ada upaya yang sia-sia.
Penantian selama 38 minggu 4 hari berbuah bayi kecil nan imut. Berulang kali suami memandangi wajahnya tatkala ia tidur ataupun sedang diam. Kami yang belum genap setahun sudah Allah titipkan amanat baru, semoga kami dapat menjaganya dengan baik. Aku masih belajar menjadi seorang ibu dan istri. Masih banyak kekurangan dan kewajiban yang diambil alih suami. Dalam satu tahun perjalanan cinta ini, aku dikaruniai tambahan dua orang yang kucinta: suami dan Kak Shafiyyah. Semoga engkau shalihah ya, Nak. Semoga kita bisa saling menjaga dan kembali bertemu di surga-Nya.
Komentar