Assalamu'alaykum teman-teman. Alhamdulillah insya Allah ini tahun pertama kita bisa silaturahmi tanpa "ngumpet-ngumpet" dari aturan ya. Hari Raya Idul Fitri kali ini kita bisa bertemu sanak saudara, orang tua, teman-teman yang mungkin selama pandemi kemarin hanya bisa bertemu lewat jejaring sosial maupun video call. Ditambah lagi, aturan bepergian juga dipermudah yaitu bisa bebas antigen dan PCR jika sudah booster vaksin ketiga. Yuk langsung ke faskes terdekat untuk booster, lumayan banget cuma beli tiket pesawat atau kereta apinya aja kan. Seperti masa-masa libur lebaran sebelum pandemi, biasanya teman-teman yang punya ART di rumah akan ada cuti khusus untuk ART-nya (yang semoga ngga ditambah drama ngga mau balik kerja). Kebayang ya bersih-bersih rumah, kalau baju masih bisa laundry self service yang sehari bisa langsung kering dan menghemat waktu. Kalau ART? ada sih ART musiman ya, tapi apakah bisa dipercaya? Daripada jadi overthinking yu...
Beberapa anak usia di bawah lima tahun rela melepas ibunya
untuk bekerja. Kadang ia tersenyum lucu. Saat momen itu, apakah sang ibu merasa
berat meninggalkan anaknya? Kadang ia menangis menjerit melepas ibunya yang
pergi mencari nafkah padahal masih ada sang ayah yang (tidak kalah kerasnya)
mencari nafkah. Ibu bukan sekadar tempat menyimpan bayi hingga 9 bulan. Ibu
juga bukan hanya menjadi status di akta kelahiran sang anak.
Beberapa ibu modern menyewa seorang asisten penjaga anak untuk
menggantikan tugasnya ketika ia sedang bekerja. Beberapa meminta orang tuanya
atau mertuanya untuk menjaga anak. Itu sebenarnya anak siapa? Kemudian ketika
anak tumbuh menjadi anak cerdas, ibu pun berbangga hati. Padahal sedikit waktu
yang ia punya untuk menemani buah hati.
Beberapa ibu mengaku ‘terpaksa’ bekerja karena tuntutan
materi, beberapa lagi mengaku sudah terbiasa mandiri. Sadarkah bahwa ada sisi
hati anak yang merasa kesepian di tengah banyaknya materi yang ditaburkan
untuknya? Apa yang sebenarnya dijadikan tujuan? Harta atau Anak? Teringat
sebuah kisah yang dituturkan teman:
Di suatu tempat, seorang Ibu hidup terpisah dengan anaknya.
Sang ibu bekerja sebagai TKI di suatu negara. Sementara itu, sang anak hidup
bersama kakek neneknya di desa yang tidak terlalu terpencil. Sang ibu bekerja
giat supaya bisa mengirimkan uang bulanan yang lebih dari cukup untuk anaknya
kemudian untuk orang yang telah merawat anaknya.
Pada suatu bulan, sang ibu berkeinginan membelikan motor
untuk anaknya yang masih SMP itu sehingga ia mengirimkan uang lebih banyak dari
biasanya. Sang anak pun senang luar biasa. Motor ia pakai untuk aktivitas
perjalanan dari rumah menuju sekolah, sekolah-menuju rumah. Tidak ada gelagat
akan menyalahgunakan motor tersebut.
Hari itu, ketika telah berbulan-bulan anaknya menggunakan
motor, dari kejauhan negeri sang ibu berfirasat tak baik. Hatinya hanya merasa
gelisah tanpa mengetahui persis yang terjadi. Ia merasa ada kejadian buruk yang
menimpa keluarganya. “Kakek nenek yang sudah tua renta mungkin telah tiada,”
begitu firasatnya.
Izin untuk pulang sebentar ke tanah air pada sang tuan dan
nyonya telah didapatkan. Pengurusan barang yang akan dibawa hingga tiket pun
sudah dibeli. Perjalanan yang sedang ia lakukan bukan karena kerinduan, tapi
karena pertanda kegelisahan. Tiba di Indonesia, ia langsung bergegas menuju
desanya, didapatkan bahwa kakek nenek yang menjaga anaknya terlihat masih
sehat. Begitupun kerabat yang lainnya.
Rasa rindu muncul dengan anaknya seketika muncul. Tak
terlihat sosok anaknya yang ia kira tengah bepergian dengan motor pemberiannya.
Tatkala itu ia bertanya perihal keberadaan anaknya, yang kemudian dijawab
dengan muka pucat oleh kerabat. “Dia sudah meninggal sebulan yang lalu,
kecelakaan motor. Kami tak berani memberitahumu karena khawatir dengan
kondisimu di sana,” begitu kira-kira ucapan salah satu kerabat. Sang ibu seolah
tak percaya dengan ucapan kerabatnya hingga akhirnya ia dibawa ke makam
bertuliskan nama anaknya. Di situ ia menjerit, tangisnya seolah hujan yang
mengalir deras dari langit.
Penyesalan sudah tak ada guna dan keadaan tetap harus
diterima. Dengan gontai ia kembali ke rumah yang telah dibangun dari hasil
penghasilannya. Rumah yang dulu pernah diisi oleh anaknya yang tak sempat
bertemu dengannya sebelum wafat. Rasa sesak menimpali hatinya kemudian tersadar
apa arti semua harta ini jika sang anak yang menjadi sebab ia bekerja telah
tiada.
Mendalami perasaan anak lebih sulit dari mendalami keahlian
dalam bekerja. Kita merasa memiliki waktu yang masih cukup banyak hingga
akhirnya anak menjadi dewasa. Kadang anak yang tak tahu permasalahan menjadi
sasaran kemarahan para orang tua yang kelelahan. Mungkin juga ada anak yang
terabaikan ceritanya karena hanya kehampaan yang ia temukan ketika tiba di
rumahnya. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari cerita tersebut.
Kita tidak pernah tahu siapa yang lebih dulu disempurnakan
rezekinya oleh Allah. Maka pergunakanlah waktu dengan bijak. Ada orang yang
mencintai kita dan menanti kebersamaan yang tersisa dari waktu kita. Dari semua
yang Allah titipkan, mereka yang utama, pantaskah mereka mendapatkan sisa?
“Jadilah engkau di
dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat
(musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)
Komentar